Inilah 5 Sisi Gelap Esports: Tersembunyi di Balik Kemeriahannya

Esports merupakan sebuah industri yang sangat muda bila dibandingkan dengan industri game itu sendiri. Walaupun begitu, esports sudah menghasilkan angka-angka penghasilan yang fantastis, melebihi ekspektasi semua orang.

Newzoo sebagai situs yang menjadi rujukan kebanyakan orang di Indonesia mengabarkan kalau esports memiliki revenue di angka US$1,1 miliar di tahun 2020.

Angka ini diperkirakan akan bergerak naik 15,7% di setiap tahunnya. Revenue fantastis ini muncul saat dunia belum menghadapi pandemi COVID-19.

Ketika COVID-19 melanda, angka revenue tersebut bisa naik berkali-kali lipat mengingat banyaknya anak-anak dan orang dewasa yang tidak bisa beraktivitas dengan normal. Dalam laporan terbarunya, LCS (League of Legends Championship Series) menyebutkan peningkatan jumlah penonton turnamen mereka yang mencapai 550 ribu peak user. Angka tersebut merupakan yang tertinggi dalam 5 tahun belakangan.

Bisa dibilang pandemi ini malah menjadi “turbocharger” bagi perkembangan esports di dunia. Tapi layaknya dua sisi koin, di balik sisi terang selalu ada sisi gelap di balik kemegahan dan kemasyhuran industri esports.

Di bawah ini ada beberapa hal sisi gelap dunia esports yang bisa kita intip dan mungkin belum banyak orang ketahui.

1. Potensi Cedera dan Berbagai Masalah Kesehatan yang Menghantui Gamers Profesional

Masalah kesehatan menjadi perhatian tersendiri di esports. Pasalnya kegiatan utama pemain esports tidak lepas dari duduk berlama-lama sambil menggunakan gadget atau komputer.

Dari kegiatan regular tersebut saja, para pemain esports sudah diintai berbagai risiko penyakit seperti seperti meningkatnya kemungkinan terkena serangan jantung, diabetes, dan masalah postur badan.

Penyakit di atas belum termasuk dengan penyakit yang spesifik menyerang para pemain esports.

Contoh penyakit yang spesifik menyerang pemain esports adalah Carpal Tunnel Syndrome (dulu sempat disebut Nintendonitis), yang muncul karena gerakan berulang yang dilakukan tangan sampai akhirnya menciptakan cedera.

Ada juga Spontaneous Pneumothorax, jenis penyakit “lung collapse” yang disebabkan oleh terlalu sering duduk. Ada juga masalah burnout yang menyebabkan hilang fokus karena terlalu sering memainkan satu game secara terus-menerus.

2. Penyalahgunaan Obat-Obatan Sebagai Doping

Sebagai cabang olahraga yang tidak melibatkan fisik secara langsung, menyebabkan pemeriksaan doping kerap tidak dilakukan ke atlet esports.

Padahal, atlet tersebut berkompetisi dengan beban yang tidak jauh berbeda dengan para atlet konvensional. Hasilnya, beberapa atlet memilih jalan pintas dengan memanfaatkan doping obat-obatan untuk meningkatkan performa mereka.

Salah satu obat yang dimanfaatkan pemain esports sebagai doping adalah Adderall. Dalam dunia medis, Adderall biasa digunakan penderita gangguan pemusatan perhatian (ADHD)/hiperaktivitas agar lebih fokus dan tenang.

Tetapi, penggunaan Adderall bisa juga dimanfaatkan oleh seseorang yang membutuhkan konsentrasi di waktu yang lama. Dalam esports, para atlet percaya bahwa Adderall bisa meningkatkan performa mereka ketika bertanding.

Sampai saat ini, beberapa pihak di esports masih tergolong tak acuh terhadap penggunaan doping di esports. Salah satu contohnya bisa dilihat dari kasus turnamen Dota 2 di tahun 2018 kemarin.

Pada tahun tersebut, Valve mencabut bantuan terhadap turnamen Major Dota 2 yaitu Galaxy Battles. Valve memutuskan hal tersebut karena pemerintah Filipina mengharuskan para pemain esports profesional menjalani serangkaian drug tests.

Alih-alih mengikuti hukum yang berlaku, Valve malah menganggap hal ini berpotensi mempersulit pemain yang akan mengikuti turnamen tersebut.

Sampai saat ini doping masih menjadi perdebatan. Sebab di cabang olahraga konvensional doping merupakan sebuah pelanggaran, sementara di esports belum ada peraturan yang diakui secara internasional yang melarang penggunaan doping.

3. Masalah Perjudian di Usia Dini

Perjudian sudah muncul sejak 2300 SM, tapi peningkatan permainannya terjadi ketika manusia menemukan dadu di tahun 500 SM dan 800 Masehi.

Dari kedua penemuan tersebut, perjudian menjalar ke mana-mana termasuk ke Indonesia. Kita mengenal perjudian dari salah satu cerita Mahabarata yang memperlihatkan kekalahan Pandawa melawan Kurawa di meja Judi.

Walaupun memunculkan musibah dan dilarang di berbagai agama, perjudian tetap laris manis digelar di mana-mana. Begitu juga di esports yang mempertandingkan dua tim. Di antara para penonton yang membela salah satu tim, pasti ada saja yang rela melakukan apapun, termasuk bertaruh dengan orang lain.

Headline artikel pembahasan masalah perjudian di esports dari The Conversation.

Pertaruhan ini dimanfaatkan oleh para bandar judi untuk mengembangkan basis operasi mereka di bidang esports. Dari sini, muncul berbagai situs perjudian yang memanfaatkan virtual item sebagai mata uang yang dipertaruhkan.

Perjudian dalam esports ini memunculkan masalah yang lebih rumit ketimbang perjudian konvensional. Masalah tersebut diungkap lewat laporan The Conversation. Laporan tersebut mengatakan kalau pelaku perjudian esports memiliki rentang usia di bawah 16 tahun hingga 23 tahun.

Mengacu kepada fakta tersebut, ini berarti perjudian esports memiliki target pasar yang lebih muda bila dibandingkan perjudian biasa. Bila dibiarkan, perjudian esports punya dampak sosial jangka panjang yang berbahaya berupa mengakarnya budaya judi di tengah masyarakat.

4. Match Fixing, Musuh Utama Sportivitas di Kompetisi Esports

Dengan adanya perjudian di esports, sudah pasti ada uang yang terlibat. Begitu uang berkehendak, sudah pasti akan ada kecurangan dan korupsi yang berjalan di belakangnya.

Esports mengalami masalah kecurangan dan korupsi melalui match fixing yang dilakukan oleh para pemainnya. Tidak jarang, para pemain esports bertaruh untuk kekalahan dirinya di sebuah situs perjudian atau menerima suap dari tim lainnya. Artinya, hasil permainan diketahui bahkan sebelum dimulai.

Esports telah mengalami banyak skandal pengaturan pertandingan yang mungkin sudah terjadi sejak game kompetitif ada.

Salah satu contoh skandal pengaturan pertandingan terjadi di skena CS:GO tahun 2014 yang terjadi antara iBUYPOWER dan NetcodeGuides.com.

Kasus tersebut bisa dibilang sebagai kasus match fixing pertama yang terjadi. Bukti mulai muncul bahwa beberapa pemain iBUYPOWER memiliki skin taruhan terhadap diri mereka sendiri.

Karena match fixing yang terjadi, beberapa pemain iBUYPOWER yang terlibat pun terkena banned. Jika Anda menonton beberapa sorotan pertandingan, cukup jelas ada sesuatu yang mencurigakan sedang terjadi.

Pada tahun 2010, StarCraft menjadi pusat skandal pengaturan pertandingan. Para pemain didekati oleh situs web taruhan online dan beberapa membuat kesepakatan untuk throw permainan mereka demi keuntungan finansial.

Ada 11 pemain yang terkena banned dan bahkan ada yang menghadapi tuntutan pidana dan kemungkinan dipenjara karena hukum Korea Selatan.

5. Perilaku Toxic di Antara Komunitasnya

Sebenarnya tidak ada definisi yang baku tentang apa itu perilaku toxic.

Tapi secara umum, kita dapat mengartikannya sebagai perilaku yang merusak kenyamanan orang lain secara sengaja. Tipe perilaku toxic di setiap game bisa berbeda-beda, namun secara umum perilaku toxic di esports biasanya meliputi interaksi sosial antara pemain dan penggemar, cyberbullying, mengganggu pemain lain, dan sebagainya.

Ada beberapa hal yang memicu perilaku toxic, salah satunya mungkin disebabkan oleh elemen kompetitif yang membuat kita terdorong mengutamakan kemenangan di atas segala-galanya sampai-sampai kita merasa bahwa tim kita harus selalu menang.

Counterfactual thinking adalah fenomena psikologi yang bisa menjelaskan fenomena tersebut. Konsep tersebut bisa diartikan sebagai sebuah kejadian ketika kita membayangkan kondisi alternatif saat terjadi hal yang tidak diinginkan.

Sebagai contoh, “Andai tadi Marksman kita menyerang Lord, saat ini kita pasti sudah menang!” Counterfactual thinking bisa berdampak positif saat menjadi bahan evaluasi, tapi juga bisa mendorong kita untuk menyalahkan orang lain.

Selain itu, hal perilaku toxic juga bisa jadi disebabkan oleh kultur sosial negatif.

Kultur sosial negatif bisa jadi muncul saat kita tumbuh di kalangan masyarakat yang individualis, tidak mengajarkan empati, atau senang melihat orang lain susah. Kalau sudah begitu, tinggal tunggu saja pengaruh sosial budaya masyarakat muncul sendiri dari diri kita.

Satu hal yang mungkin bisa jadi penjelasan atas perilaku toxic ini, adalah bahwa kita bersikap toxic agar setidaknya kita mendapat suatu kesenangan meskipun sedang kalah.

Kalah itu tidak enak dan perilaku toxic bisa jadi pelampiasan untuk sedikit mengurangi rasa tidak enak tersebut. Tapi mental seperti ini adalah mental orang yang mudah menyerah.

Maju-Mundur Industri Esports Karena Perebutan Kekuasaan

Perebutan kekuasaan di bidang esports terjadi di mana-mana termasuk di Indonesia.

Padahal pemain esports membutuhkan sebuah asosiasi terorganisasi yang melindungi pemain dan memajukan hak dan kepentingan mereka. Sayang, yang terjadi justru sebaliknya. Banyak organisasi berdiri dengan topeng cita-cita yang terlihat luhur padahal motifnya tidak lebih dari kekuasaan dan ekonomi.

Dalam konteks luar negeri, perebutan kekuasaan sempat terjadi saat Tencent bersama beberapa pihak menciptakan Global Esports Federation di tahun 2020. Asosiasi itu sendiri bisa dibilang “menabrak” pihak lain, yaitu International Esports Federation (IESF) yang sudah berdiri sejak tahun 2008 silam.

Di Indonesia, momen “perang asosiasi” antar beberapa pihak terjadi di tahun 2019. Pembukaan “perang asosiasi” terjadi saat IESPA (Indonesia Esports Association) yang sudah disahkan FORMI sebagai wadah pegiat esports Indonesia sejak 2012 silam, mendadak disaingi oleh organisasi baru bernama AVGI (Asosiasi Video Games Indonesia) pada Juli 2019. Selang 3 bulan (Oktober 2019) terbentuk lagi “asosiasi” lain yang menamakan diri mereka sebagai Federasi Esports Indonesia.

Lalu bagaimana “perang asosiasi” tersebut jadi bentuk perebutan kekuasaan? Mari kita lihat dari kasus AVGI. Asosiasi Video Game yang pembentukannya diresmikan oleh KOMINFO berdiri dengan visi memajukan industri game dan esports Indonesia. Namun secara fungsi, posisi AVGI sebenarnya menabrak dengan dua asosiasi lain yang punya fungsi serupa dan lebih tua usianya.

Asosiasi pertama adalah AGI (Asosiasi Game Indonesia). Berdiri bersama BAPAREKRAF, fungsi AGI adalah menaungi dan mengembangkan industri game Indonesia. Asosiasi kedua adalah IESPA. Diresmikan FORMI dan berdiri bersama KEMENPORA serta Komite Olimpiade Indonesia (KOI), IESPA ada untuk menaungi kegiatan tim esports, kegiatan keolahragaan, dan pemberangkatan atlet esports ke event-event internasional.

Prestasi esports Indonesia di SEA Games 2019 menunjukkan pentingnya peran pemerintah untuk menaungi para atlet esports. Sayang, bentuk perhatian pemerintah yang diberikan kadang tidak semanis seperti apa yang kita harapkan | Sumber Gambar – SEA Games Official Documentation.

Saling tabrak-menabrak kepentingan tersebut tentu bukan pertanda baik bagi kemajuan industri game dan esports di Indonesia. Alhasil AVGI yang muncul tiba-tiba dengan peran menabrak tersebut jadi kurang relevan dan tidak memiliki akses yang dibutuhkan di kedua belah bidang.

Untunglah perang ini berakhir ketika PBESI (PB Esports Indonesia) berdiri di awal Januari 2020. PBESI yang diketuai Jendral Pol (Purnawirawan) Budi Gunawan didirikan dengan dukungan KONI, KEMENPORA, dan KOMINFO memiliki fungsi untuk menggawangi esports di Indonesia.

Namun, walaupun posisi PBESI bisa dibilang berada di puncak seluruh asosiasi esports dan game yang ada di Indonesia, bukan berarti organisasi tersebut luput dari kontroversi. Perdebatan baru saja terjadi beberapa hari ke belakang, saat PBESI secara mengejutkan mengeluarkan suatu peraturan.

Pada sisi lain, peraturan itu sebenarnya punya niat yang baik yaitu untuk mengawasi perkembangan ekosistem esports di Indonesia. Namun, kontroversi terjadi karena banyak peraturan terkesan mengekang dan cenderung bersifat monopolistik, ditambah dengan berbagai butir-butir peraturan yang kurang definitif sehingga berpotensi menjadi pasal karet.


Pembahasan sisi gelap esports ini tentu bukan bermaksud menakut-nakuti kawan-kawan semua yang ingin terjun ke dalam industri esports, melainkan untuk mengedukasi agar semua poin-poin pembahasan di atas bisa jadi pelajaran bagi kita semua di masa depan.

Disunting oleh: Akbar Priono

More Stories
honor of kings google
Honor Of Kings Sabet Gelar Google Play Best Game of 2024 di Asia Tenggara (ID, SG, PH, MY)